PERANAN BUNG TOMO DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA PADA PERTEMPURAN SURABAYA (10 NOVEMBER 1945)
Sutomo
atau orang-orang mengenalnya dengan sapaan akrab Bung Tomo. Bung Tomo lahir
padda 3 Oktober 1920 di desa Blauran, Surabaya, Jawa Timur. Bung Tomo adalah
putra sulung yang lahir dari pasangan Kartawan Tjiptowidjojo dan Subastita yang
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda dan Madura. Sutomo lahir menjadi seorang
yang sangat berpengaruh dalam kemerdekaan indonesia dengan memiliki tekad yang
luar biasa, Bung Tomo lahir dari keluarga yang memiliki background terhormat
pada saat itu dengan profesi ayah Bung Tomo sebagai pegawai pemerintah dikantor
pajak ekspor impor pemerintahan belanda.
Gambar I ; Bung Tomo
Sumber : sakata.id
Lahir
dalam keluarga yang memperhatikan pentingnya pendidikan menjadikan suatu bentuk
keberuntungan bagi Bung Tomo. Sebab pada masa itu pendidikan hanya diperuntukan
bagi kaum bangsawan ataupun kaum kelas menengah. Pada tahun 1926-1933 Bung Tomo
bersekolah di HIS (Hollands Inlandse School) merupakan sekolah yang setara
dengan SD dan Bung Tomo berhasil lulus dari sekolah tersebut. Bung Tomo pada
usia 12 tahun pernah bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager) yang merupakan
sekolah yang setara dengan SMP pada masa sekarang. Disini Bung Tomo sudah
timbul perasaan tentang kebijakan pemerintahan belanda, beliau sudah menyadari
kalau pemerintahan sangat mendiskriminasikan rakyat indonesia pada saat itu.
Pada
saat Bung Tomo bersekolah di MULO sangat disayangkan harus berakhir untuk
keluar. Kemudian Bung Tomo juga pernah mengenyam pendidikan di HBS (Hogere
Burger School) yang merupakan sekolah yang setara dengan SMA pada masa sekarang
ini melaui jalur korespondensi. Namun, Bung Tomo tidak dapat dinyatakan resmi
lulus. Namun, dengan keceradasan, kegigihan dan dukungan penuh dari keluarga
bung Tomo dapat berhasil meraih gelar sarjana ekononomi di Universitas
Indonesia pada tahun 1968.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 pasukan
sekutu yang bernama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) tiba di
surabaya dengan memboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Gurbernur Jawa Timur pada saat itu sangat menentang keras kedatangannya AFNEI
& NICA di surabaya, pada awalnya rakyat surabaya merasa bahagia karena
mereka mengira datangnya AFNEI & NICA ingin mengusir penjajahan kekuasaan
jepang dan membebaskan rakyat sipil. Namun, pada kenyataanya pasukan sekutu dan
NICA memiliki tujuan lain yaitu ingin menduduki dan menjajah kembali wilayah
indonesia yang telah merdeka.
Amir Syarifudin sebagai menteri penyiaran pada saat itu,
menyampaikan berita awal pendaratan sekutu kolonial dari Jakarta. Masyarakat
Surabaya, yang dikenal sebagai arek - arek suroboyo, tidak tinggal diam
menghadapi kedatangan pasukan sekutu, mereka tetap waspada dan mencurigai
dengan kedatangannya para sekutu itu, karena para sekutu datang dengan harapan dapat
merebut kembali kekuasaan Belanda. Arek - arek suroboyo juga membuat rencana,
mencuri semua senjata dari gudang senjata dan markas tentara Jepang di
Surabaya, yang akan mereka gunakan sebagai cadangan jika sekutu dan NICA
menyerang Surabaya. terdapat persebaran gudang dan markas seperti Don
Bosco, Markas Kempetai, Gedung Cowek, Markas Kaigun Jepang, Komples Lindeteves,
Markas Kohara Butai Gunung Sari dan Markas Polisi Istimewa.
Gambar
II : Perebutan Senjata di Don Bosco Gudang Sejata di Surabaya
Sumber
: www.goodnewsfromindonesia.id
Beberapa
hari sebelum pertempuran, pada tanggal 12 Oktober 1945, Barisan Pemberontakan
Rakyat Indonesia (BPRI) didirikan oleh Bung Tomo dan sejumlah pejuang dari
Surabaya. Awalnya, kontroversi ini digunakan sebagai propaganda untuk
menggalang dukungan bagi gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di kalangan
masyarakat umum. Karena memiliki pemancar radio bernama Radio Pemberontakan,
BPRI menjadi terkenal dengan cepat.
Radio
pemberontakan mempunyai lokasi/markas pemancar yang di Jl. Mawar 10 Surabaya
sebagai markas para pejuang. Lokasi pemancar selalu berpindah-pindah dan sangat
dirahasiakan keberadaannya. Oleh Bung Tomo, radio tersebut digunkan untuk
propoganda. Radio tersebut juga nantinya sangat berperan penting untuk
meyiarkan orasi-orasi Bung Tomo ketika pertempuran 10 November pecah di
Surabaya.
Pada dini hari tanggal
10 November 1945, rakyat Indonesia di Surabaya dan Jawa Timur menyatakan perang
terhadap pihak lain dalam sebuah pidato pemberontakan di radio. Dengan demikian, sebagai tanggapan atas
serangan pasukan Sekutu Inggris, pasukan militer Republik Indonesia serta semua
pejuang di Surabaya membalas. Melalui pemberontakan radio, Bung Tomo memainkan
peran penting dalam pertempuran Surabaya. Suaranya menjadi pembakar semangat
arek-arek Surabaya dalam berjuang mengusir penjajah, begitu pula dengan laskar
pemberontak yang dibentuknya untuk membuat arek-arek Surabaya mampu dan mahir
menggunakan senjata.
Gambar
III : Pertempuran di Surabaya (10 November 1945)
Sumber
: balaiedukasi.blogspot.co.id
Pasukan Inggris memulai konflik pada tanggal
10 November 1945, pada pukul 6:00 pagi dengan memulai tembakan meriam dan
menghancurkan kapal-kapal artileri, yang menghancurkan bagian utara
Surabaya. Inggris mulai menginvasi
wilayah di sekitar Tanjung Perak, bergerak ke titik militer utara di sepanjang
tepi Sungai Semampir. Morokrembangan diserang pada pukul 09.00. 1500 pejuang
dikerahkan oleh para pejuang, yang juga memiliki 400 pistol otomatis, 52 meriam
anti-senjata, dan 70 senapan mesin (Alwi, 2012: 388). Setelah pertempuran
selama dua jam, pasukan sekutu berhasil menguasai bandara, dan tentara Inggris
mulai membombardir Surabaya selama tiga jam berturut-turut dari udara. Penduduk Surabaya yang ingin melarikan diri
dari kota terbunuh atau terluka dalam konflik ini, dan banyak rakyat surabaya
yang pergi mengungsi keluar kota karena banyak bangunan-bangunan yang telah
hancur.
Masyarakat semakin
menyadari keterlibatan Bung Tomo dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia berkat
perjuangannya di Surabaya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain
masyarakat umum, namanya juga semakin dikenal di kalangan ulama, pemerintah, elit
politik, dan angkatan bersenjata (Abdul Waid, 2019: 156).
Satu-satunya kelompok
yang memiliki pemancar radio bernama Radio Pemberontakan adalah Laskar Barisan
Pemberontakan Rakyat Indonesia (LBPRI), yang mendapatkan pengakuan luas di
kalangan masyarakat Indonesia. Pemancar ini mampu bertahan hingga akhir konflik
November 1945 karena keahlian teknik radio dari beberapa anggota LBRI Yaitu
Alip Oerip, Soemadi, dan Hasan Basrimaka.
Dalam
perjalanan perjuangannya, Bung Tomo melakukan perang gerilya. Bung Tomo juga
menggunakan radio sebagai media massa untuk menanamkan rasa kebulatan tekad di
kalangan rakyat. Pidatonya ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia, tidak
hanya mereka yang tinggal di Surabaya pada saat itu. Selain siaran radio, Bung
Tomo juga menggunakan surat kabar dan platform media massa lainnya untuk
mendorong anggota masyarakat agar ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Ia juga merupakan pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia
(BPRI), sebuah kelompok yang pada saat itu sering membuat resah pemerintah
kolonial dengan melakukan pemberontakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, D. (2012). Pertempuran Surabaya November
1945: catatan Julius Pour, Mallaby dibunuh atau terbunuh?. (No Title).
Munandar, A., & Subaryana, Y. B. (2022).
Bung Tomo dan Peranannya dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. RINONTJE:
Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 3(1).
Pratama, D. A. TINDAKAN BUNG TOMO DARI KEJARAN
PASUKAN BELANDA DI JAWA TIMUR DAN STRATEGI PERJUANGANNYA 1945-1949.
Purmeica, C. F., & YB Jurahman, S. (2021).
Peranan Bung Tomo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Rinontje:
Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah, 2(2).
Tomo, B. PERAN BUNG TOMO DALAM PERISTIWA 10 NOVEMBER 1945 DI SURABAYA.
Waid, A. (2019). Bung Tomo: Hidup dan Mati
Pengobar Semangat Tempur 10 November. Yogyakarta: Laksana.
Zikri, M. H., & Asmarita, Y. (2023).
PERTEMPURAN 10 NOVEMBER 1945 DI SURABAYA SEBAGAI AKSI BUNG TOMO DALAM
MEMPERTAHANKAN KEMERDAKAAN INDONESIA. Krinok: Jurnal Pendidikan Sejarah
dan Sejarah, 2(3), 169-176.
Posting Komentar untuk "PERANAN BUNG TOMO DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA PADA PERTEMPURAN SURABAYA (10 NOVEMBER 1945)"