Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERISTIWA PEMINDAHAN IBU KOTA DARI YOGYAKARTA KE BUKITTINGGI TAHUN 1948

 Oleh Dadang Nur Jaman

Apabila pada suatu negara menghadapi suatu keadaan yang mana negara tersebut dalam keadaan genting dan memungkinkan negara tersebut terancam bubar dan berakhir kekuasaannya. Hal ini pernah menimpa Indonesia pada masa revolusi ketika kedaulatan negara dalam posisi darurat (Asshiddique, 2007: 5). Situasi ini dipicu oleh adanya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 si Yogyakarta, yang menyebabkan para penyelenggra negara mulai dari presiden hingga jajarannya ditawan oleh Belanda yang mengakibatkan terjadinya kekosongan kekuasaan. Karena presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta tertangkap, maka mereka berdua kehilangan hak kekuasaan jabatanya jika ditinjau dari sudut pandang sistem kenegaraan.

Dalam sebuah negara, ibukota memegang peranan penting dalam suatu sistem pemerintahan suatu negara yang mana memiliki fungsi sebagai kantor pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan dan ditentukan berdasarkan hukum. Selain itu, ibu kota juga menjadi pusat ekonomi utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politk, dan menjadi suatu ibu kota dengan peleburan dari daerah-daerah lain disekitarnya. Suatu ibukota berperan penting dalam suatu sistem ketatanegaraan, karena didalamnya terdapat beberapa aspek yang menjadi penunjang pada sistem pemerintahan negara. Oleh karena itu, ibukota akan menjadi sasaran dalam suatu peristiwa peperangan atau penyerangan dari luar, karena suatu ibukota memiliki fungsi strategis dalam suatu negara. Dengan menguasai ibukota maka diwilayah lainnya akan memerosotkan moral untuk mengalahkan musuh (militer).



Dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia, negara Indonesia telah mengalami pergantian ibukota negara setidaknya sebanyak dua kali yaitu pemindahan dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946 dan juga pemindahan dari Yogyakarta pada tahun 1948. Pemindahan-pemindahan tersebut penyebabnya terjadi karena masalah keamanan dan kestabilan pada daerah ibukota tersebut, Belanda kembali berencana untuk merebut kembali Indonesia meskipun Indonesia sudah menjadi negara yang berdaulat dengan adanya proklamasi kemerdekaan.

Setelah mengalami penjajahan dari bangsa asing selama ratusan tahun, bangsa Indonesia berhasil meraih proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Perjuangan bangsa Indonesia menghilangkan kolonialisme bangsa asing yang berlangsung ratusan tahun merupakan suatu perjuangan yang sangat berat yang kemudian dibayar dengan keberhasilan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini menciptakan kegembiraan hampir di semua daerah di Indonesia.

Negara Indonesia mengalami penjajahan dari bangsa asing hampir selama tiga abad lebih. Selama rentang waktu tersebut juga bangsa Indonesia melakukan perlawanan dari masyarakat-masyarakat terhadap bangsa asing tujuannya agar mereka segera pergi dari bumi nusantara dan terbebas dari penjajahan. Sebaliknya, bangsa asing berusaha untuk menanamkan kekuasaannya di Indonesia dan mengeruk kekayaan sumber daya alam yang ada. Ini menunjukkan perjuangan bangsa Indonesia untuk bersaing dengan negara lain dan keluar dari penjajahan bangsa luar (Rinardi, 2017: 143).

Ketika Kemerdekaan sudah diraih namun pada periode tersebut Belanda datang kembali ke Indonesia dan mencoba untuk menguasai kembali Indonesia yang dibuktikan dengan adanya pertempuran yang terjadi selama periode Revolusi yang mana pasukan sekutu yang dibonceng oleh NICA datang kembali ke Indonesia. Pertempuran-pertempuran tersebut mayoritas terjadi di Jawa, penyebabnya adalah pemerintah pusat pada saat berada di pulau Jawa tepatnya di Jakarta, hingga akhirnya membuat kondisi ibukota tidak kondusif dan harus dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.

Hal yang hampir serupa kembali terjadi, tepatnya pada 19 Desember 1948, hal yang serupa kembali dilakukan oleh Belanda yang melakukan agresi dan menyebabkan Yogyakarta yang pada saat itu merupakan ibukota negara jatuh ke tangan Belanda. Karena hal tersebut presiden Soekarno memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara sebagai pelaksana tugas, karena para penyelenggara negara termasuk presiden dan wakil presiden ditangkap oleh pasukan Belanda. Ketika mandat tersebut diberikan syafruddin sedang berada di Bukittinggi. Karena serangan militer Belanda di Yogyakarta, jaringan komunikasi antara pulau Jawa dan Sumatera sempat terputus, hal ini menyebabkan Syafruddin tidak langsung mengetahui mandat yang diberikan oleh Soekarno dan baru bertindak pada 22 Desember 1948 dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi (Saputra, 1997).

Sebelum menjadi ibukota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Bukittinggi ialah ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara yang berdasarkan keputusan dari Wakil Presiden Mohammad Hata pada 9 Agustus 1947. Ketika pemindahan ibukota negara terjadi, seluruh instansi pemerintahan yang sebelumnya berada di Medan dan Pematangsiantar dipindahkan ke Bukittinggi beserta semua jajarannya. Instansi-instansi tersebut antara lain Jawatan Kepolisan Negara, Pencetakan Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS), markas TNI Divisi IX/Banteng  (Sumatera Tengah), dan semua markas besar laskar rakyat yang berkedudukan di kota ini.

Pemilihan Bukittinggi ini didasarkan pada alasan karena Soekarno telah memberikan mandat kepada Syafruddin apabila penyelenggara pemerintahan negara telah ditangkap oleh belanda. Selain itu pemilihan ini juga didasarkan pada bentang alam yang ada di Bukittinggi yang terdapat Gunung Merapi di sebelah barat, Gunung Singgalang di selatan, dan Lembah Sianok di utara dan barat. Dengan begitu Bukittinggi ini diharapkan akan aman apabila terjadi hal yang serupa yang menimpa ibukota sebelumnya di Yogyakarta yaitu berupa penyerangan oleh pasukan militer Belanda.

Latar Belakang Pemindahan

Keterlibatan daerah adalah komponen penting dari Revolusi Nasional Indonesia.  Seperti Revolusi Indonesia di Jawa dan Sumatera. Mereka bersatu dalam semangat proklamasi kemerdekaan dari penindasan penjajah berkat pengalaman kolektif mereka sebagai bangsa yang terjajah. Dengan demikian, kenyataan sejarah saat itu sangat bertentangan dengan keinginan Belanda untuk memperluas kembali kendalinya di Indonesia. Salah satu peristiwa yang pernah terjadi pada periodisasi sejarah Indonesia ialah terjadinya Agresi Militer Belanda II tepatnya pada 18 Desember 1948 pada pukul setengah dua belas malam yang ditandai dengan adanya pidato daru Dr. L.J.M. Beel sebagai Komisariat Tinggi Belanda di Indonesia, lewar pernyataannya yaitu menyebutkan bahwa Belanda sudah terlepas dari kesepakatan Perjanjian Renville. Karena status tersebut, pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda melakukan serangan ke Yogyakarta serta beberapa kota lainnya seperti di Jawa dan Sumatera. Penyerangan ini umumnya dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 selesai dibacakan, dalam catatan sejarah Indonesia pada masa tersebut Indonesia memasuki masa revolusi kemerdekaan yang terjadi pada rentang waktu 1945-1949. Periode tersebut merupakan masa dimana Indonesia mempertahankan kemerdekaannya dari Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan dibonceng oleh pasukan sekutu, dengan tujuan untuk mengambil kembali kekuasaan setelah Jepang kalah di perang dunia II. Pada peridoe ini terjadi berbagai pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia khususnya di Pulau Jawa (Meri, 2021: 38).

Berbagai usaha dilakukan oleh bangsa Belanda untuk menancapkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Salah satunya dengan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, kembali menguasai daerah-daerah strategis Indonesia dan menangkap tokoh-tokoh nasional Indonesia dengan tujuan jika  pemimpinnya  ditangkap  maka  akan  mudah  menguasai  rakyatnya.  Ini  dibuktikan  Belanda dengan  melakukan  Agresi  Militer  I  dan  II  yang  mengakibatkan  pusat  kekuasaan  pemerintahan Indonesia yang berada di Yogyakarta dapat dikuasai.

Ketika Agresi Militer Belanda I yang berlangsung pada rentang waktu 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947, menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia seperti perekonomian negara yang menurun hingga wilayah kedaulatan NKRI yang semakin menyempit. Belanda mengentikan Agresi Militer I pada 5 Agsutus 1947 atas imbauan yang diberikan oleh PBB alasannya agar mereka tidak menerima sanksi internasional atas aksi yang mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia, dengan catatan mereka nantinya akan membahas kembali permasalahan ini kembali dalam suatu perundingan, yang nantinya dikenal sebagai Perjanjian Renville.

Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali berusaha untuk menguasai Indonesia. Mereka datang kembali ke Indonesia dengan dalih untuk melakukan keamanan dan ketertiban berdasarkan persepsi mereka saja. Operasi tersebut dikenal sebagai operasi gagak yang merupakan gabungan dari pasukan udara, darat, dan laut militer Belanda yang tujuannya untuk merebut Yogyakarta yang pada saat itu merupakan ibukota Indonesa. Karena penyerangan tersebut, dalam waktu sekejap Yogyakarta berhasil dikuasai oleh Belanda, hal ini disebabkan militer Indonesia yang pada saat itu dalam keadaan lemah dan juga serangan yang dilakukan Belanda yang sangat mendadak (Christian, 2011: 28).

Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Dalam peristiwa agresi militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang mana pada saat itu Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo, Sleman, Yogyakarta. Penyerangan itu terjadi ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta, hal ini membuat pemerintahan pada saat itu tidak stabil, yang mana kemudian Soekarno mengadakan sidang darurat yang menetapkan bahwa Presiden beserta kabinet tetap akan berada di Yogyakarta. Namun apabila presiden dan anggota kabinet ditangkap, Soekarno melakukan pemberian mandat kepada Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran agar menjadi pelaksana tugas, selama dirinya menjadi tawanan Belanda, yang mana kemudian Syafruddin membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Untuk berjaga-jaga apabila Syafruddin tidak menerima pesannya tersebut, Soekarno juga memberikan mandatnya untuk membuat pemerintahan darurat kepada tokoh-tokoh yang sedang berada di luar negeri, yaitu kepada dr. Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang tengah berada di New Delhi India. Hal ini dilakukan dengan alasan karena pada saat itu tidak memungkinkan untuk menjalankan pemerintahan di Yogyakarta yang sudah dikuasai oleh Belanda (Rasjid, 1982: 19-21).

Pembentukan PDRI diresmikan pada 22 Desember 1948 di desa Halaban. Seperti sistem pemerintah suatu negara pada umumnya, PDRI di Bukittinggi ini juga memiliki struktur Pemerintahannya adapun susunannya sebagai berikut (Pratama, 2019: 64-65):

Table 1. Susunan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia

Nama

Jabatan

Syafruddin Prawiranegara

Ketua, merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan.

Mr. Soesanto Tirtoprodjo

Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman

Mr. A. A. Maramis

Menteri Luar Negeri

Dr. Soekiman

Menteri dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan

Mr. Loekman Hakim

Menteri Keuangan

I.J Kasimo

Menteri Kemakmuran

Masjkur

Menteri Agama

Mr. Teuku Muhammad Hasan

Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan

Ir. Indratjaja

Menteri Perhubungan

Ir. Sitompoel

Menteri Pekerjaan Umum

Mr. Sutan Mohammad Rasjid

Menteri Perburuhan dan Sosial

 

Meskipun dalam UUD Republik Indonesia pada suatu struktur pemerintah kenegaraan tidak ada istilah ketua, dalam hal ini Syafruddin menyebut posisi nya di PDRI  sebagai ketua. Penyebutan ketua dan tidak menggunakan istilah Presiden disebabkan oleh dua alasan yaitu Pertama, Sjafruddin Prawiranegara tidak mengetahui bahwa Presiden Soekarno telah memberikan mandat langsung kepadanya. Kedua, terbentuknya PDRI karena adanya rasa nasionalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (Rosidi, 1986: 114). Meskipun demikian, Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden Republik Indonesia dengan mandat dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang pada saat itu tidak dapat berfungsi sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Hingga perundingan Roem-Roijen pada 7 Mei 1949, PDRI didirikan oleh Syafruddin Prawiranegara untuk berfungsi sebagai jalur komunikasi antara pemerintahan Indonesia (Noer, 2011: 284).

Meskipun pusat pemerintahan pada saat itu berada di Bukittinggi, namun komunikasi kepada tokoh-tokoh penting yang berada di Pulau Jawa tetap terjalin, namun hal tersebut mulai terbuka pada akhir Januari 1949 tujuannya agar dapar melakukan kordinasi untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Mengenai hal tersebut pada 31 Maret 1949 dibentuk Komisariat Pemerintah Pusat Djawa (KPPD) yang berisikan tokoh-tokoh yang berada di Pulau Jawa sebagai menteri-menterinya. Selain itu PDRI juga mendapatkan bantuan dari angkatan perang, yang ditunjukkan dengan adanya komunikasi melalui radiogram antara Jenderal Soedirman di Pulau Jawa dan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang serta PTTD Kolonel Nasution tujuannya agar tetap saling membantu jika terjadi serangan dilakukan oleh pasukan Belanda di Bukittinggi. PDRI juga berhubungan dengan diplomat Indonesia untuk negara lain, terutama dengan anggota delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Para diplomat ini menggunakan informasi yang diberikan PDRI tentang perkembangan di dalam negeri, terutama kemajuan gerilya, untuk melawan Belanda dalam perseteruan di Dewan Keamanan PBB (Poesponegoro, 2008: 260-261).

Pembubaran Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Akibat adanya kecamanan dari dunia internasional atas apa yang dilakukan Belanda yitu melakukan ankesasi pada suatu negara yang telah berdaulat, posisi Belanda pada saat itu mulai terdesak pada pertengahan tahun 1949 dan mulai mengendurkan serangan terhadap Indonesia. Penghentian serangan militer dari pihak Belanda dan Indonesia menjadi keputusan dari diselenggarakannya Perjanjian Roem-Royen. Dengan adanya perundingan Roem-Royen menandakan usainya PDRI sebagai pemerintahan sementara Republik Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan tidak dilibatkannya peran PDRI di perundingan tersebut.

Dalam perundingan tersebut Indonesia diwakili M. Roem yang bersedia melakukan intruksi. Meskipun secara sadar atau tidak, kesediaan M. Roem ini berkaitan keinginan pribadi untuk segera lepas dari tawanan Belanda. Sedangkan wakil delegasi Belanda van Roijen yang telah berkecimpung lama dalam permasalahan yang menyangkut di Indonesia. Dalam perundingan tersebut tokoh-tokoh sedikit mengalami pertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda sehingga berdampak pada putusan pengembalian PDRI kepada pemerintahan di Yogyakarta (Fitria, 2022: 10).

Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali beroperasi di Yogyakarta. Sambutan rakyat kepada para pemimpin Republik yang diasingkan hangat dan meriah. Namun, tanggapan yang agak sinis diberikan oleh pihak militer yang enggan mengakui kekuasaan sipil yang dianggap telah meninggalkan Republik. Soedirman menentang perintah genjatan senjata yang dijadwalkan mulai 1 Agustus dan memutuskan untuk mundur menyerahkan surat pengunduran diri. Tapi, ia mencabut kembali pengunduran dirinya karena Sukarno mengancam akan ikut mengundurkan diri juga. Seminggu setelah Sukarno dan Hatta dibebaskan, Syarifuddin Prawiranegara kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal 13 Juli 1949, sebagai kepala PDRI ia menyerahkan mandatnya kepada Hatta selaku perdana menteri dan wakil presiden untuk membentuk kabinet yang baru (Fakih, 2019: 153).

Berdasarkan perundingan Roem-Royen tersebut maka para pemimpin kenegaran dari mulai presiden hingga ke menteri-menterinya dibebaskan oleh pasukan Belanda dan kembali menjalankan pemerintahannya di Yogyakarta. Adapaun isi pembahasan dalam perjanjian Roem-Royen tersebut ialah membahas tentang pengembalian ibukota ke Yogyakarta yang sebelumnya sempat diduduki oleh Belanda dan kemudian dikembalikan ke pemerintah Republik Indonesia. Perundingan Roem-Royen diselenggarakan pada 14 April 1949 yang berlokasi di Hotel Des Indes Jakarta dan usai pada 7 Mei 1949. Mr. Muhammad Roem berperan sebagai delegasi Indonesia, sedangkan dari Belanda ialah Dr. JH. Van Royen. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan berupa pengembalian para tawanan yang merupakan para pemimpin pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta serta kesepakatan untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. (Anwar, 2022).

Setelah terjadinya perjanjian Roem-Roijen disahkan, maka Natsir meyakinkan Syafruddin Prawiranegara untuk datang dan menyelesaikan dualisme pemerintah yang ada pada saat itu. Situasi yang pertentangan dan dualisme pemerintah segera diselesaikan karena mengancam persatuan nasional. Sebenarnya PDRI secara prinsipiil tidak dapat menerima perjanjian Roem-Roijen, akan tetapi demi kepentingan perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dan untuk persatuan nasional maka pimpinan PDRI bersedia mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Pengembalian mandat itu mengartikan tanggung jawab perjuangan selanjutnya berada kembali di tangan Presiden Soekarno. Dalam pengembalian mandat Syafruddin Prawiranegara menyampaikan laporan yang telah dilakukan PDRI. Atas jasa yang sudah dilakukan Syafruddin dan jajaran PDRI lainnya Soekarno mengucakpak terima kasih atas dedikasi mereka yang dilakukan untuk bangsa Indonesia. Dengan adanya putusan tersebut menandai pemerintahan selama 6 bulan 21 hari berakhir saat penyerahan mandat dari PDRI ke Moh. Hatta pada tanggal 14 Juli 1949. PDRI telah selasai secara singkat namun mempunyai makna besar sekali karena sangat menentukan jalannya perjuangan bangsa dan negara Republik Indonesia.

KESIMPULAN

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda datang kembali ke Indonesia dengan maksud dan tujuan untuk berusaha kembali menguasai Indonesia. Rencana Belanda tersebut ditunjukkan dengan terjadinya beberapa pertempuran fisik dan diplomasi-diplomasi yang mereka tujukan kepada pihak Indonesia. Ketika situasi di pusat pemerintahan tepatnya di Jakarta tidak stabil, alhasil membuat ibukota dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 dan dipindahkan kembali ke Bukittinggi 19 Desember 1948 dengan alasan pada saat itu Presiden Soekarno dan beberapa jajaran kabinetnya ditangkap oleh Belanda. Hal ini membuat Soekarno memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk menjalankan pemerintahan untuk sementara di Bukittinggi. Untuk menjalankan pemerintahan ini Syafruddin membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948.

Meskipun dipindahkan ke Sumatera Barat, komunikasi antara Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tetap berjalan dengan tokoh-tokoh yang berada di Pulau Jawa yang terhubung melalui media radio kerjasama antar elit politik terlasana dan tidak terjadi benturan kepentingan antar masing-masing pihak. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) berakhir setelah 6 bulan 21 hari menjalankan roda pemerintahan tepatnya 14 Juli 1949. Meskipun berjalan sangat singkat, PDRI mempunyai peranan yang sangat penting bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alit, D. M., Pramartha, I. N. B., Darman, T. Y., & Kristina, N. L. W. (2021). Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Dalam Gejolak Revolusi Fisik di Indonesia: Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) in the Physical Revolution in Indonesia. Social Studies, 9(1), 58-72.

Anwar, I., C. (2022). Sejarah Perundingan Roem-Royen: Latar Belakang, Isi, Tokoh Delegasi. [Online]. Diaskses dari https://tirto.id/sejarah-perundingan-roem-royen-latar-belakang-isi-tokoh-delegasi-gauy pada 12/12/2023.

Asshiddiqie, J. (2007). Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Raja Grapindo Persada.

Christian, R., A. (2011). Agresi Militer Belanda I Dan II (Periode 1947-1949) Dalam Sudut Pandang Hukum Internasional. Skripsi: Universitas Indonesia

Hakiem, L., dan Noer, M. 2011. Mr. Sjafruddin Prawirangara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah. Jakarta: Harian Republika.

Meri, D. (2021). Mengapa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Di Bukittinggi (Sumatera Barat). Jurnal Edukasi, 1(1), 38-45.

Pratama, S. (2019). Peranan Syafruddin Prawiranegara dalam Pemerintahan Indonesia Tahun 1945-1949. Skripsi. Universitas Negeri Jember.

Rasjid, M .(1982). Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Jakarta: Bulan Bintang.

Rinardi, H. 2017. Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia. Jurnal Sejarah Citra Lekha, 2(2), 143-150.

Rosidi, A. (1986). Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT. Cetakan Pertama. Jakarta: Inti Idayu Press.

Saputra, W., R., H., dkk. (1997). Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam mempertahankan kedaulatan RI 1 Indonesia. Tesis: Universitas Indonesia.

Wijaya, M. I., Isjoni, I., & Tugiman, T. (2017). Peran Sjafruddin Prawiranegara dalam Mempertahankan Kedaulatan Nkri dari Agresi Militer Belanda II di Riau, Tahun 1948-1949 (Doctoral dissertation, Riau University).

 


Posting Komentar untuk "PERISTIWA PEMINDAHAN IBU KOTA DARI YOGYAKARTA KE BUKITTINGGI TAHUN 1948"