PERISTIWA PEMINDAHAN IBU KOTA DARI YOGYAKARTA KE BUKITTINGGI TAHUN 1948
Oleh Dadang Nur Jaman
Apabila pada suatu negara menghadapi suatu keadaan yang mana negara tersebut dalam keadaan genting dan memungkinkan negara tersebut terancam bubar dan berakhir kekuasaannya. Hal ini pernah menimpa Indonesia pada masa revolusi ketika kedaulatan negara dalam posisi darurat (Asshiddique, 2007: 5). Situasi ini dipicu oleh adanya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 si Yogyakarta, yang menyebabkan para penyelenggra negara mulai dari presiden hingga jajarannya ditawan oleh Belanda yang mengakibatkan terjadinya kekosongan kekuasaan. Karena presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta tertangkap, maka mereka berdua kehilangan hak kekuasaan jabatanya jika ditinjau dari sudut pandang sistem kenegaraan.
Dalam sebuah negara, ibukota memegang peranan
penting dalam suatu sistem pemerintahan suatu negara yang mana memiliki fungsi
sebagai kantor pusat dan tempat pertemuan dari pimpinan pemerintahan dan
ditentukan berdasarkan hukum. Selain itu, ibu kota juga menjadi pusat ekonomi
utama dari suatu wilayah sering menjadi titik pusat dari kekuatan politk, dan
menjadi suatu ibu kota dengan peleburan dari daerah-daerah lain disekitarnya.
Suatu ibukota berperan penting dalam suatu sistem ketatanegaraan, karena didalamnya
terdapat beberapa aspek yang menjadi penunjang pada sistem pemerintahan negara.
Oleh karena itu, ibukota akan menjadi sasaran dalam suatu peristiwa peperangan
atau penyerangan dari luar, karena suatu ibukota memiliki fungsi strategis
dalam suatu negara. Dengan menguasai ibukota maka diwilayah lainnya akan
memerosotkan moral untuk mengalahkan musuh (militer).
Dalam perkembangan sejarah bangsa Indonesia, negara
Indonesia telah mengalami pergantian ibukota negara setidaknya sebanyak dua
kali yaitu pemindahan dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946 dan juga
pemindahan dari Yogyakarta pada tahun 1948. Pemindahan-pemindahan tersebut
penyebabnya terjadi karena masalah keamanan dan kestabilan pada daerah ibukota
tersebut, Belanda kembali berencana untuk merebut kembali Indonesia meskipun
Indonesia sudah menjadi negara yang berdaulat dengan adanya proklamasi kemerdekaan.
Setelah mengalami penjajahan dari bangsa asing selama
ratusan tahun, bangsa Indonesia berhasil meraih proklamasi kemerdekaan pada 17
Agustus 1945. Perjuangan bangsa Indonesia menghilangkan kolonialisme bangsa
asing yang berlangsung ratusan tahun merupakan suatu perjuangan yang sangat
berat yang kemudian dibayar dengan keberhasilan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Hal ini menciptakan kegembiraan hampir di semua daerah di Indonesia.
Negara Indonesia mengalami penjajahan dari bangsa asing
hampir selama tiga abad lebih. Selama rentang waktu tersebut juga bangsa
Indonesia melakukan perlawanan dari masyarakat-masyarakat terhadap bangsa asing
tujuannya agar mereka segera pergi dari bumi nusantara dan terbebas dari
penjajahan. Sebaliknya, bangsa asing berusaha untuk menanamkan kekuasaannya di
Indonesia dan mengeruk kekayaan sumber daya alam yang ada. Ini menunjukkan
perjuangan bangsa Indonesia untuk bersaing dengan negara lain dan keluar dari
penjajahan bangsa luar (Rinardi, 2017: 143).
Ketika Kemerdekaan sudah diraih namun pada periode tersebut
Belanda datang kembali ke Indonesia dan mencoba untuk menguasai kembali
Indonesia yang dibuktikan dengan adanya pertempuran yang terjadi selama periode
Revolusi yang mana pasukan sekutu yang dibonceng oleh NICA datang kembali ke
Indonesia. Pertempuran-pertempuran tersebut mayoritas terjadi di Jawa,
penyebabnya adalah pemerintah pusat pada saat berada di pulau Jawa tepatnya di
Jakarta, hingga akhirnya membuat kondisi ibukota tidak kondusif dan harus
dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.
Hal yang hampir serupa kembali terjadi, tepatnya pada 19
Desember 1948, hal yang serupa kembali dilakukan oleh Belanda yang melakukan
agresi dan menyebabkan Yogyakarta yang pada saat itu merupakan ibukota negara
jatuh ke tangan Belanda. Karena hal tersebut presiden Soekarno memberikan
mandat kepada Syafruddin Prawiranegara sebagai pelaksana tugas, karena para
penyelenggara negara termasuk presiden dan wakil presiden ditangkap oleh
pasukan Belanda. Ketika mandat tersebut diberikan syafruddin sedang berada di
Bukittinggi. Karena serangan militer Belanda di Yogyakarta, jaringan komunikasi
antara pulau Jawa dan Sumatera sempat terputus, hal ini menyebabkan Syafruddin
tidak langsung mengetahui mandat yang diberikan oleh Soekarno dan baru
bertindak pada 22 Desember 1948 dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi (Saputra, 1997).
Sebelum menjadi ibukota Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI), Bukittinggi ialah ibu kota dari Provinsi Sumatera Utara yang
berdasarkan keputusan dari Wakil Presiden Mohammad Hata pada 9 Agustus 1947.
Ketika pemindahan ibukota negara terjadi, seluruh instansi pemerintahan yang
sebelumnya berada di Medan dan Pematangsiantar dipindahkan ke Bukittinggi
beserta semua jajarannya. Instansi-instansi tersebut antara lain Jawatan
Kepolisan Negara, Pencetakan Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS),
markas TNI Divisi IX/Banteng (Sumatera Tengah), dan semua markas besar
laskar rakyat yang berkedudukan di kota ini.
Pemilihan
Bukittinggi ini didasarkan pada alasan karena Soekarno telah memberikan mandat
kepada Syafruddin apabila penyelenggara pemerintahan negara telah ditangkap
oleh belanda. Selain itu pemilihan ini juga didasarkan pada bentang alam yang
ada di Bukittinggi yang terdapat Gunung Merapi di sebelah barat, Gunung
Singgalang di selatan, dan Lembah Sianok di utara dan barat. Dengan begitu
Bukittinggi ini diharapkan akan aman apabila terjadi hal yang serupa yang
menimpa ibukota sebelumnya di Yogyakarta yaitu berupa penyerangan oleh pasukan
militer Belanda.
Latar
Belakang Pemindahan
Keterlibatan
daerah adalah komponen penting dari Revolusi Nasional Indonesia. Seperti Revolusi Indonesia di Jawa dan
Sumatera. Mereka bersatu dalam semangat proklamasi kemerdekaan dari penindasan
penjajah berkat pengalaman kolektif mereka sebagai bangsa yang terjajah. Dengan
demikian, kenyataan sejarah saat itu sangat bertentangan dengan keinginan
Belanda untuk memperluas kembali kendalinya di Indonesia. Salah satu peristiwa
yang pernah terjadi pada periodisasi sejarah Indonesia ialah terjadinya Agresi
Militer Belanda II tepatnya pada 18 Desember 1948 pada pukul setengah dua belas
malam yang ditandai dengan adanya pidato daru Dr. L.J.M. Beel sebagai
Komisariat Tinggi Belanda di Indonesia, lewar pernyataannya yaitu menyebutkan
bahwa Belanda sudah terlepas dari kesepakatan Perjanjian Renville. Karena
status tersebut, pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda melakukan serangan ke
Yogyakarta serta beberapa kota lainnya seperti di Jawa dan Sumatera.
Penyerangan ini umumnya dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 selesai dibacakan, dalam
catatan sejarah Indonesia pada masa tersebut Indonesia memasuki masa revolusi
kemerdekaan yang terjadi pada rentang waktu 1945-1949. Periode tersebut
merupakan masa dimana Indonesia mempertahankan kemerdekaannya dari Belanda yang
datang kembali ke Indonesia dengan dibonceng oleh pasukan sekutu, dengan tujuan
untuk mengambil kembali kekuasaan setelah Jepang kalah di perang dunia II. Pada
peridoe ini terjadi berbagai pertempuran dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia khususnya di
Pulau Jawa (Meri, 2021: 38).
Berbagai
usaha dilakukan oleh bangsa Belanda untuk menancapkan kembali kekuasaannya di
Indonesia. Salah satunya dengan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, kembali
menguasai daerah-daerah strategis Indonesia dan menangkap tokoh-tokoh nasional
Indonesia dengan tujuan jika
pemimpinnya ditangkap maka
akan mudah menguasai
rakyatnya. Ini dibuktikan
Belanda dengan melakukan Agresi
Militer I dan
II yang mengakibatkan
pusat kekuasaan pemerintahan Indonesia yang berada di
Yogyakarta dapat dikuasai.
Ketika
Agresi Militer Belanda I yang berlangsung pada rentang waktu 21 Juli 1947
hingga 5 Agustus 1947, menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia seperti
perekonomian negara yang menurun hingga wilayah kedaulatan NKRI yang semakin
menyempit. Belanda mengentikan Agresi Militer I pada 5 Agsutus 1947 atas
imbauan yang diberikan oleh PBB alasannya agar mereka tidak menerima sanksi
internasional atas aksi yang mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia, dengan
catatan mereka nantinya akan membahas kembali permasalahan ini kembali dalam
suatu perundingan, yang nantinya dikenal sebagai Perjanjian Renville.
Pada
19 Desember 1948 Belanda kembali berusaha untuk menguasai Indonesia. Mereka
datang kembali ke Indonesia dengan dalih untuk melakukan keamanan dan
ketertiban berdasarkan persepsi mereka saja. Operasi tersebut dikenal sebagai
operasi gagak yang merupakan gabungan dari pasukan udara, darat, dan laut
militer Belanda yang tujuannya untuk merebut Yogyakarta yang pada saat itu
merupakan ibukota Indonesa. Karena penyerangan tersebut, dalam waktu sekejap
Yogyakarta berhasil dikuasai oleh Belanda, hal ini disebabkan militer Indonesia
yang pada saat itu dalam keadaan lemah dan juga serangan yang dilakukan Belanda
yang sangat mendadak (Christian, 2011: 28).
Pembentukan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Dalam
peristiwa agresi militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang mana pada saat
itu Belanda menyerang lapangan terbang Maguwo, Sleman, Yogyakarta. Penyerangan
itu terjadi ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta,
hal ini membuat pemerintahan pada saat itu tidak stabil, yang mana kemudian
Soekarno mengadakan sidang darurat yang menetapkan bahwa Presiden beserta
kabinet tetap akan berada di Yogyakarta. Namun apabila presiden dan anggota
kabinet ditangkap, Soekarno melakukan pemberian mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran agar menjadi pelaksana tugas, selama
dirinya menjadi tawanan Belanda, yang mana kemudian Syafruddin membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Untuk berjaga-jaga apabila Syafruddin
tidak menerima pesannya tersebut, Soekarno juga memberikan mandatnya untuk
membuat pemerintahan darurat kepada tokoh-tokoh yang sedang berada di luar
negeri, yaitu kepada dr. Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang tengah
berada di New Delhi India. Hal ini dilakukan dengan alasan karena pada saat itu
tidak memungkinkan untuk menjalankan pemerintahan di Yogyakarta yang sudah
dikuasai oleh Belanda (Rasjid, 1982: 19-21).
Pembentukan
PDRI diresmikan pada 22 Desember 1948 di desa Halaban. Seperti sistem
pemerintah suatu negara pada umumnya, PDRI di Bukittinggi ini juga memiliki
struktur Pemerintahannya adapun susunannya sebagai berikut (Pratama, 2019:
64-65):
Table 1.
Susunan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Nama
|
Jabatan
|
Syafruddin Prawiranegara |
Ketua,
merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan. |
Mr. Soesanto Tirtoprodjo |
Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman |
Mr. A. A. Maramis |
Menteri Luar Negeri |
Dr. Soekiman |
Menteri dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan |
Mr. Loekman Hakim |
Menteri Keuangan |
I.J Kasimo |
Menteri Kemakmuran |
Masjkur |
Menteri Agama |
Mr. Teuku Muhammad Hasan |
Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan |
Ir. Indratjaja |
Menteri Perhubungan |
Ir. Sitompoel |
Menteri Pekerjaan Umum |
Mr. Sutan Mohammad Rasjid |
Menteri Perburuhan dan Sosial |
Meskipun
dalam UUD Republik Indonesia pada suatu struktur pemerintah kenegaraan tidak
ada istilah ketua, dalam hal ini Syafruddin menyebut posisi nya di PDRI sebagai ketua. Penyebutan ketua dan tidak
menggunakan istilah Presiden disebabkan oleh dua alasan yaitu Pertama,
Sjafruddin Prawiranegara tidak mengetahui bahwa Presiden Soekarno telah
memberikan mandat langsung kepadanya. Kedua, terbentuknya PDRI karena adanya
rasa nasionalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (Rosidi, 1986:
114). Meskipun demikian, Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden Republik
Indonesia dengan mandat dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta, yang pada saat itu tidak dapat berfungsi sebagai Presiden dan Wakil
Presiden. Hingga perundingan Roem-Roijen pada 7 Mei 1949, PDRI didirikan oleh
Syafruddin Prawiranegara untuk berfungsi sebagai jalur komunikasi antara
pemerintahan Indonesia (Noer, 2011: 284).
Meskipun
pusat pemerintahan pada saat itu berada di Bukittinggi, namun komunikasi kepada
tokoh-tokoh penting yang berada di Pulau Jawa tetap terjalin, namun hal
tersebut mulai terbuka pada akhir Januari 1949 tujuannya agar dapar melakukan
kordinasi untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Mengenai hal
tersebut pada 31 Maret 1949 dibentuk Komisariat Pemerintah Pusat Djawa (KPPD)
yang berisikan tokoh-tokoh yang berada di Pulau Jawa sebagai
menteri-menterinya. Selain itu PDRI juga mendapatkan bantuan dari angkatan
perang, yang ditunjukkan dengan adanya komunikasi melalui radiogram antara
Jenderal Soedirman di Pulau Jawa dan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B.
Simatupang serta PTTD Kolonel Nasution tujuannya agar tetap saling membantu
jika terjadi serangan dilakukan oleh pasukan Belanda di Bukittinggi. PDRI juga
berhubungan dengan diplomat Indonesia untuk negara lain, terutama dengan
anggota delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Para diplomat ini
menggunakan informasi yang diberikan PDRI tentang perkembangan di dalam negeri,
terutama kemajuan gerilya, untuk melawan Belanda dalam perseteruan di Dewan
Keamanan PBB (Poesponegoro, 2008: 260-261).
Pembubaran
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Akibat
adanya kecamanan dari dunia internasional atas apa yang dilakukan Belanda yitu melakukan
ankesasi pada suatu negara yang telah berdaulat, posisi Belanda pada saat itu
mulai terdesak pada pertengahan tahun 1949 dan mulai mengendurkan serangan
terhadap Indonesia. Penghentian serangan militer dari pihak Belanda dan
Indonesia menjadi keputusan dari diselenggarakannya Perjanjian Roem-Royen.
Dengan adanya perundingan Roem-Royen menandakan usainya PDRI sebagai
pemerintahan sementara Republik Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan tidak
dilibatkannya peran PDRI di perundingan tersebut.
Dalam
perundingan tersebut Indonesia diwakili M. Roem yang bersedia melakukan
intruksi. Meskipun secara sadar atau tidak, kesediaan M. Roem ini berkaitan
keinginan pribadi untuk segera lepas dari tawanan Belanda. Sedangkan wakil
delegasi Belanda van Roijen yang telah berkecimpung lama dalam permasalahan
yang menyangkut di Indonesia. Dalam perundingan tersebut tokoh-tokoh sedikit
mengalami pertentangan dengan delegasi-delegasi Belanda sehingga berdampak pada
putusan pengembalian PDRI kepada pemerintahan di Yogyakarta (Fitria, 2022: 10).
Pada
tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali beroperasi di Yogyakarta.
Sambutan rakyat kepada para pemimpin Republik yang diasingkan hangat dan
meriah. Namun, tanggapan yang agak sinis diberikan oleh pihak militer yang
enggan mengakui kekuasaan sipil yang dianggap telah meninggalkan Republik.
Soedirman menentang perintah genjatan senjata yang dijadwalkan mulai 1 Agustus
dan memutuskan untuk mundur menyerahkan surat pengunduran diri. Tapi, ia
mencabut kembali pengunduran dirinya karena Sukarno mengancam akan ikut
mengundurkan diri juga. Seminggu setelah Sukarno dan Hatta dibebaskan,
Syarifuddin Prawiranegara kembali ke Yogyakarta. Pada tanggal 13 Juli 1949,
sebagai kepala PDRI ia menyerahkan mandatnya kepada Hatta selaku perdana
menteri dan wakil presiden untuk membentuk kabinet yang baru (Fakih, 2019:
153).
Berdasarkan
perundingan Roem-Royen tersebut maka para pemimpin kenegaran dari mulai
presiden hingga ke menteri-menterinya dibebaskan oleh pasukan Belanda dan
kembali menjalankan pemerintahannya di Yogyakarta. Adapaun isi pembahasan dalam
perjanjian Roem-Royen tersebut ialah membahas tentang pengembalian ibukota ke
Yogyakarta yang sebelumnya sempat diduduki oleh Belanda dan kemudian
dikembalikan ke pemerintah Republik Indonesia. Perundingan Roem-Royen
diselenggarakan pada 14 April 1949 yang berlokasi di Hotel Des Indes Jakarta
dan usai pada 7 Mei 1949. Mr. Muhammad Roem berperan sebagai delegasi
Indonesia, sedangkan dari Belanda ialah Dr. JH. Van Royen. Perundingan ini
menghasilkan kesepakatan berupa pengembalian para tawanan yang merupakan para
pemimpin pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta serta kesepakatan untuk
menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. (Anwar, 2022).
Setelah
terjadinya perjanjian Roem-Roijen disahkan, maka Natsir meyakinkan Syafruddin
Prawiranegara untuk datang dan menyelesaikan dualisme pemerintah yang ada pada
saat itu. Situasi yang pertentangan dan dualisme pemerintah segera diselesaikan
karena mengancam persatuan nasional. Sebenarnya PDRI secara prinsipiil tidak
dapat menerima perjanjian Roem-Roijen, akan tetapi demi kepentingan perjuangan
untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dan untuk persatuan
nasional maka pimpinan PDRI bersedia mengembalikan mandat kepada Presiden
Soekarno. Pengembalian mandat itu mengartikan tanggung jawab perjuangan
selanjutnya berada kembali di tangan Presiden Soekarno. Dalam pengembalian
mandat Syafruddin Prawiranegara menyampaikan laporan yang telah dilakukan PDRI.
Atas jasa yang sudah dilakukan Syafruddin dan jajaran PDRI lainnya Soekarno
mengucakpak terima kasih atas dedikasi mereka yang dilakukan untuk bangsa
Indonesia. Dengan adanya putusan tersebut menandai pemerintahan selama 6 bulan
21 hari berakhir saat penyerahan mandat dari PDRI ke Moh. Hatta pada tanggal 14
Juli 1949. PDRI telah selasai secara singkat namun mempunyai makna besar sekali
karena sangat menentukan jalannya perjuangan bangsa dan negara Republik
Indonesia.
KESIMPULAN
Setelah
Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda datang kembali ke
Indonesia dengan maksud dan tujuan untuk berusaha kembali menguasai Indonesia.
Rencana Belanda tersebut ditunjukkan dengan terjadinya beberapa pertempuran
fisik dan diplomasi-diplomasi yang mereka tujukan kepada pihak Indonesia.
Ketika situasi di pusat pemerintahan tepatnya di Jakarta tidak stabil, alhasil
membuat ibukota dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 dan dipindahkan
kembali ke Bukittinggi 19 Desember 1948 dengan alasan pada saat itu Presiden
Soekarno dan beberapa jajaran kabinetnya ditangkap oleh Belanda. Hal ini
membuat Soekarno memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk
menjalankan pemerintahan untuk sementara di Bukittinggi. Untuk menjalankan
pemerintahan ini Syafruddin membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) pada 22 Desember 1948.
Meskipun
dipindahkan ke Sumatera Barat, komunikasi antara Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia tetap berjalan dengan tokoh-tokoh yang berada di Pulau Jawa yang
terhubung melalui media radio kerjasama antar elit politik terlasana dan tidak
terjadi benturan kepentingan antar masing-masing pihak. Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) berakhir setelah 6 bulan 21 hari menjalankan roda
pemerintahan tepatnya 14 Juli 1949. Meskipun berjalan sangat singkat, PDRI
mempunyai peranan yang sangat penting bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Alit,
D. M., Pramartha, I. N. B., Darman, T. Y., & Kristina, N. L. W. (2021).
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Dalam Gejolak Revolusi Fisik di
Indonesia: Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) in the
Physical Revolution in Indonesia. Social Studies, 9(1), 58-72.
Anwar,
I., C. (2022). Sejarah Perundingan Roem-Royen: Latar Belakang, Isi, Tokoh
Delegasi. [Online]. Diaskses dari https://tirto.id/sejarah-perundingan-roem-royen-latar-belakang-isi-tokoh-delegasi-gauy
pada 12/12/2023.
Asshiddiqie,
J. (2007). Hukum Tata Negara Darurat. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
Christian,
R., A. (2011). Agresi Militer Belanda I Dan II (Periode 1947-1949) Dalam Sudut
Pandang Hukum Internasional. Skripsi: Universitas Indonesia
Hakiem,
L., dan Noer, M. 2011. Mr. Sjafruddin Prawirangara Pemimpin Bangsa dalam
Pusaran Sejarah. Jakarta: Harian Republika.
Meri,
D. (2021). Mengapa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Di Bukittinggi
(Sumatera Barat). Jurnal Edukasi, 1(1), 38-45.
Pratama,
S. (2019). Peranan Syafruddin Prawiranegara dalam Pemerintahan Indonesia Tahun
1945-1949. Skripsi. Universitas Negeri Jember.
Rasjid,
M .(1982). Di Sekitar PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Jakarta:
Bulan Bintang.
Rinardi,
H. 2017. Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia. Jurnal
Sejarah Citra Lekha, 2(2), 143-150.
Rosidi,
A. (1986). Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT. Cetakan
Pertama. Jakarta: Inti Idayu Press.
Saputra,
W., R., H., dkk. (1997). Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dalam
mempertahankan kedaulatan RI 1 Indonesia. Tesis: Universitas Indonesia.
Wijaya,
M. I., Isjoni, I., & Tugiman, T. (2017). Peran Sjafruddin Prawiranegara
dalam Mempertahankan Kedaulatan Nkri dari Agresi Militer Belanda II di Riau,
Tahun 1948-1949 (Doctoral dissertation, Riau University).
Posting Komentar untuk "PERISTIWA PEMINDAHAN IBU KOTA DARI YOGYAKARTA KE BUKITTINGGI TAHUN 1948"