STRATEGI PERANG GERILYA JENDERAL SOEDIRMAN SAAT MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA II DI JAWA TENGAH
Peristiwa bersejarah di Indonesia tidak berhenti begitu
saja hanya dengan proklamasikan kemerdekaan yang dilakukan pada tanggal 17
Agustus 1945. Masyarakat Indonesia masih harus menghadapi rongrongan Belanda
yang masih ingin menguasai Indonesia untuk mengeruk kekayaan alam demi
keuntungan besar dibaliknya. Sebagai dampak dari Perang Dunia II, Belanda
mengalami krisis yang cukup parah dibidang ekonomi sehingga Belanda mengincar
sumber daya alam di Indonesia dengan alasan untuk melunasi hutang yang
dimilikinya kepada Sekutu.
Pada perjanjian Civil Affairs Agreement (CAA) tanggal 24 Agustus
1945, poin penting dari perjanjian tersebut yaitu wilayah Indonesia yang sudah
diamankan tentara Inggris diserahkan kepada Belanda yang diwakili oleh
Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Hal tersebut memberikan
kesempatan kepada Belanda untuk kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu
yang bertugas melucuti senjata dari tentara Jepang dan membebaskan tawanan
Belanda. Kedatangan tentara Sekutu yang dibonceng NICA pada awalnya mendapat
respon yang netral dari masyarakat Indonesia. Namun situasi mulai memanas
ketika NICA mempersenjatai pasukan KNIL yang baru dibebaskan oleh tentara
Sekutu. KNIL yang sudah lengkap dengan senjata kemudian melakukan provokasi di
beberapa tempat yang sebelumnya diduduki tentara Sekutu sehingga menimbulkan
kerusuhan yang semakin memperburuk situasi di wilayah Indonesia.
Gambar
: Tentara NICA datang ke Indonesia
Sumber
: Kompas.com
Belanda melakukan Agresi Militer pertamanya pada tanggal 21
Juli 1947 dengan melakukan penyerangan di beberapa wilayah di Sumatera, Jawa,
dan Madura. Aksi ini dilakukan dengan dalih sebagai protes Belanda atas hasil
Perundingan Linggarjati yang tidak memberikan keuntungan kepada pihak Belanda. PBB dalam menanggapi hal tersebut kemudian
membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan
Belgia untuk mempertemukan Indonesia dan Belanda dalam Perjanjian Renville.
Meskipun hasil Perjanjian Renville merugikan pihak Indonesia dengan adanya
garis demarkasi Van Mook, Belanda menyatakan diri lepas dari perjanjian
tersebut dan kemudian melakukan Agresi Militer yang kedua untuk menguasai
wilayah Republik Indonesia yang masih tersisa.
Belanda mengincar Yogyakarta yang pada saat itu menjadi
ibukota Republik Indonesia dan menahan tokoh-tokoh penting seperti presiden dan
wakil presiden. Strategi Belanda dalam melakukan penyerangannya menggunakan
Operasi Kraai yang disiasati oleh Jenderal Simon Hendrik Spoor, seorang Kepala
Staf Tentara Belanda. Operasi Kraai bertujuan untuk menguasai dan menduduki
Kota Yogyakarta yang menjadi ibukota Republik Indonesia pada saat itu dengan
menggunakan kekuatan darat, laut, dan udara.
Di Jawa Tengah, Jenderal Soedirman tidak tinggal diam ketika mendengar
penyerangan tersebut. Jenderal Soedirman tidak merasa takut maupun gentar
sedikitpun dalam menghadapi Agresi Militer yang dilakukan Belanda untuk kedua
kalinya, karena beliau memiliki kepercayaan penuh kepada Angkatan Perang
Republik Indonesia. Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Tentara Indonesia
memiliki tanggung jawab yang besar dalam memimpin angkatan perang Indonesia untuk
selalu bersiaga dalam mempertahankan Indonesia dari berbagai serangan musuh. Jenderal
Soedirman kemudian menyusun strategi dalam menghadapi Agresi Militer Belanda
diantaranya perang gerilya, sabotase, dan pengumpulan intelijen.
Gambar
: Jenderal Soedirman bersama pasukan gerilya
Sumber
: Bobo.id
Strategi gerilya dinilai efektif karena sifatnya yang
fleksibel dan mobilitas yang tinggi dengan memanfaatkan medan yang sulit
dijangkau seperti hutan dan pegunungan sehingga pasukan Belanda kesulitan dalam
mendeteksi pergerakan pejuang gerilya. Strategi perang gerilya yang dibentuk
oleh Jenderal Soedirman yaitu menarik pertahanan dari kota besar dan
jalan-jalan raya, membentuk tempat-tempat gerilya, melakukan perang gerilya, wingate
atau kembali ke daerah asal bagi pasukan yang hijrah ke Yogyakarta setelah
Perjanjian Renville. Selain itu, Soedirman memimpin perang gerilya secara
langsung dengan membuat benteng-benteng pertahanan yang melewati hutan,
perbukitan dan pegunungan di wilayah Jawa Tengah. Ia bekerja sama dengan para
komandan untuk menghimpun pasukan bersenjata yang terdiri dari Tentara Nasional
Indonesia serta laskar pejuang dan relawan dari masyarakat. Jenderal Soedirman
memerintahkan pasukan untuk melancarkan serangan dadakan, melakukan
penyergapan, dan memutus jalur yang digunakan Belanda untuk membawa pasokan dan
logistik.
Pada saat peperangan dengan strategi masing-masing kedua
pihak, kondisi militer yang terjadi mengalami kebuntuan. Pasukan Belanda sudah
tidak mampu menaklukan kekuatan bersenjata para pejuang gerilya, dan sebaliknya
pasukan bersenjata bangsa Indonesia tidak mampu mengusir pasukan Belanda dari
wilayah Indonesia. Dari kondisi yang terjadi dapat dipahami bahwa strategi
perang gerilya tidak dilakukan dengan tujuan menguasai atau menduduki wilayah
tertentu dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut karena memang prinsip dasar
strategi gerilya yaitu untuk melemahkan sampai menghancurkan kekuatan pasukan
bersenjata pihak musuh. Dengan adanya strategi perang gerilya, keadaan Belanda
semakin sulit dan terpojok secara militer maupun politik. Dari hasil peperangan
kita dapat mengetahui bahwa Belanda gagal dalam melakukan Agresi Militer yang
kedua ini. Pada awal peperangan belanda terlalu yakin dapat menghancurkan kekuatan
bersenjata Indonesia dengan mudah lalu menguasai wilayah Kota Yogyakarta serta
merasa yakin bahwa kekuatan militernya jauh berada diatas kemampuan militer
Indonesia.
Semangat para pejuang gerilya dapat dikatakan berhasil
dalam menahan serangan pasukan Belanda dan cukup membuat mereka kewalahan
meskipun pada akhirnya tidak mampu mengusir pasukan Belanda dari wilayah
Indonesia. Untuk menyelesaikan konflik pada Agresi Militer tersebut maka
dilanjutkan dengan cara diplomasi, yaitu menyelenggarakan Konferensi Meja
Bundar. Dari hasil perundingan KMB, negara Republik Indonesia mulai diakui oleh
Belanda sebagai negara yang berdaulat.
Referensi
:
Lestari, A. K. W. (2019). Peran Tni-Ad
Pada Masa Agresi Militer Belanda Ii Di Kebumen Tahun 1948-1949. Ilmu
Sejarah-S1, 4(3).
Rizal, R. (2021). Peran Jenderal
Soedirman Dalam Perang Griliya (Studi Historis Masa Agresi Militer Belanda Ii
Tahun 1948-1949 Di Jawa Tengah). Danadyaksa Historica, 1(1), 12-24.
Safitri, A. (2023). Perjuangan Rakyat
dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Pada Agresi Militer II 1948-1949 di
Pulau Jawa. HEURISTIK: Jurnal Pendidikan Sejarah, 3(1), 23-34.
Samodra, Y. D., & Widiyanta, D.
(2016). Peranan Masyarakat Magelang Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik
Indonesia Tahun 1948-1949. Risalah, 1(4).
Posting Komentar untuk "STRATEGI PERANG GERILYA JENDERAL SOEDIRMAN SAAT MENGHADAPI AGRESI MILITER BELANDA II DI JAWA TENGAH"